BANYUMAS|Sindonewsjateng.com,Kekerasan terhadap perempuan tidak hanya berbicara mengenai bentuk fisik. Melainkan, dalam bentuk lain yang lebih halus namun meninggalkan luka tajam bagi korbannya. Tentu, kita sering mendengarnya dengan “kekerasan verbal”. Dalam hal ini, kekerasa verbal dapat menembus batas ruang dan waktu yang mengalir melalui percakapan, candaan, komentar, bahkan tatapan yang menyudutkan. Tidak heran, nilai-nilai partriaki, kekerasan, dan mayotitas laki-laki dalam masyarakat masih di anggap wajar. Padahal, setiap kata yang merendahkan perempuan adalah bentuk kekuasaan yang menindas hak-hak mereka.
Kita hidup di tengah budaya yang belum sepenuhnya pulih dari warisan patriarki yang bisa jadi turun temurun hadir. Perempuan masih sering menjadi objek dari narasi ahasa laki-laki. Ucapan seperti, “Perempuan kok keras kepala”, “Wajar aja digoda, baju nya aja gitu”, atau “Kalau tidak mau dilecehkan, jangan dandan yang mencolok” terdengar seolah biasa. Namun di balik itu ada luka psikis yang nyata yaitu rasa malu, takut, hingga kehilangan harga diri. Kekerasan verbal adalah bentuk penindasan yang mengikis perlahan, ia ada namun pasti melukai hati korbannya. Faktor tulah, yang menganggu psikologis seseorang menimbulkan luka, sehingga dapat berakibat kematian bagi si korban.
Ketika perempuan mulai bergerak, inisiatif dari mereka mengambil ambisi pada suatu pergerakan, maka perempuan bisa disalahkan atau bahkan di bungkam dari cara berpikir mereka. Tidak hanya itu, kecacatan berpikir seseorang, akan mengarah pada fisik yang di salahkan terutama kepada perempuan.
Hukum yang mengakui bentuk kekerasan verbal sebagai tindak kekerasan yang dapat ditindak. Pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) secara tegas melindungi korban pelecehan verbal dan kekerasan psikis. Tetapi hukum sering kalah oleh budaya. Banyak perempuan yang memilih diam, bukan karena tidak tahu haknya, tetapi karena takut disalahkan, ditertawakan, atau bahkan dikucilkan. Diam dianggap aman, meski justru membahayakan luka.
Dalam sejarah, emansipasi wanita oleh Kartini memberikan bukti nyata, bahwa perempuan sejatinya memiliki hak untuk menolak, menyatakan pendapatnya, dan bergerak memperjuangkan haknya. Sedangkan, era modern saat ini, pada ruang digital mereka saling berbagi pengalaman, mengubah luka menjadi solidaritas. Namun perjuangan tidak bisa berhenti di sana. Diperlukan kesadaran kolektif bahwa bahasa memiliki kuasa. Ia bisa menjadi senjata, tapi juga bisa menjadi jembatan untuk saling memahami.
Perubahan harus dimulai dari cara kita mendidik dan berbicara. Anak-anak perlu diajarkan bahwa menghormati perempuan bukan sekadar tidak memukul, tetapi juga tidak menyakiti lewat ucapan. Laki-laki perlu diajarkan bahwa kejantanan tidak diukur dari dominasi, melainkan dari empati. Dan media massa harus berani menampilkan representasi perempuan secara setara, tidak hanya lagi sebagai objek, melainkan subjek yang berdaya.
Kekerasan verbal terhadap perempuan adalah cermin dari bagaimana kita memeperlakukan dengan baik kepada manusia lain. Ia adalah luka yang tumbuh dari ketimpangan budaya dan ketidakpekaan moralitas bangsa. Karena itu melawannya bukan hanya sekedar tugas perempuan saja, namun juga tanggungjawab bersama. Setiap kata bisa melukai, tetapi juga bisa menyembuhkan.
“Sudah waktunya kita memilih untuk pulih, Wahai Perempuan Indonesia.”
Sebab seperti yang pernah kita dengar, cantik adalah luka. Namun luka, tak sepenuhnya abadi.
Nabila Rizky Rahmayanti
Universitas Harapan Bangsa
