Purbalingga|sindonewsjateng.com, 17 Juli 2025 – Kegelapan malam di Desa Bojanegara, Kecamatan Padamara, Purbalingga, tak mampu menutupi aroma busuk yang lebih menyengat dari bau kotoran puyuh. Aroma itu bukan hanya bau kotoran hewan, melainkan bau pengkhianatan, arogansi, dan ketidakpedulian yang dipancarkan oleh Bapak Timbul, pemilik peternakan puyuh yang telah berulang kali melanggar kesepakatan dengan warga. Pukul 20.00 WIB(17 Juli 2025), puluhan warga geruduk rumahnya, aksi puncak dari kekecewaan yang telah menumpuk selama berbulan-bulan.

Bukan sekadar bau menyengat yang membuat warga geram. Lebih dari itu, ini adalah puncak dari ketidakpercayaan terhadap janji-janji kosong yang dilontarkan Bapak Timbul. Dua bulan lalu, ia berjanji akan memindahkan peternakan puyuhnya yang terletak di tengah permukiman padat penduduk. Janji itu, seperti bau busuk yang terus menerus mencemari lingkungan, ternyata hanya omong kosong belaka.

Maya (30), warga yang rumahnya berjarak beberapa meter dari kandang puyuh, mengungkapkan penderitaannya. “Setiap hari saya tersiksa dengan bau kotoran yang menyengat. Saya tidak bisa tenang di rumah sendiri,” ujarnya dengan nada getir. Kesaksian Maya mewakili ratusan warga lainnya yang merasakan hal yang sama. Bau menyengat, lalat berterbangan, dan potensi penyakit adalah harga yang harus mereka bayar karena ketidakpedulian seorang pengusaha yang lebih mementingkan keuntungan pribadi daripada kesejahteraan masyarakat.

Ketua RT 04 RW 01, Junaidi, menegaskan bahwa warga telah menunjukkan kesabaran yang luar biasa. “Kami sudah memberi waktu dua bulan, tetapi janjinya diabaikan. Lebih dari dua minggu tenggat waktu telah lewat.Malam ini, kami sepakat, kandang puyuh itu harus pindah. Tidak ada kompromi lagi!” tegasnya. Pernyataan Junaidi mewakili tekad bulat warga yang telah mencapai titik jenuh. Kesabaran mereka telah habis diuji oleh arogansi dan ketidakpedulian Bapak Timbul.

Kepala Desa Bojanegara, Sudiono, juga turut mengungkapkan kekecewaannya. “Kami telah berulang kali mencoba menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, tetapi usaha kami selalu diabaikan. Peternakan di tengah permukiman jelas menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan dan kenyamanan warga. Ini bukan hanya masalah bau, melainkan masalah kesehatan masyarakat!” katanya dengan nada penuh amarah.

Puncak kemarahan warga meletus dalam mediasi yang berlangsung panas. Bukannya menunjukkan penyesalan, Bapak Timbul justru menunjukkan sikap arogan dan mengancam wartawan yang meliput kejadian tersebut. Dengan nada tinggi dan emosi, ia melarang pemberitaan ini diunggah ke media sosial. Sikapnya yang tidak bertanggung jawab ini semakin memperkuat citra negatifnya di mata warga. Kehadiran pihak kepolisian dan TNI dalam mediasi seolah menjadi saksi bisu atas arogansi dan ketidakpedulian Bapak Timbul.

Alasan yang dikemukakan Bapak Timbul—gagal mendapatkan pinjaman bank untuk memindahkan kandang—terdengar sangat lemah dan tidak dapat diterima. Ini bukanlah alasan yang dapat membenarkan pelanggaran kesepakatan dan ketidakpeduliannya terhadap lingkungan dan kesehatan warga. Ancaman warga untuk mengambil tindakan sendiri jika kandang tidak segera dipindahkan bukanlah isapan jempol. Ini adalah bukti nyata dari rasa frustasi dan kekecewaan yang mendalam.

Mediasi yang berlangsung alot akhirnya menghasilkan kesepakatan baru—yang kedua kalinya!—yaitu Bapak Timbul diberi waktu satu minggu lagi untuk memindahkan kandang puyuhnya. Kesepakatan ini ditandatangani di hadapan warga, pihak kepolisian, TNI, dan perangkat desa. Namun, kesepakatan ini terasa seperti tambal sulam sementara. Kepercayaan warga telah retak, dan satu minggu tambahan ini hanyalah kesempatan terakhir bagi Bapak Timbul untuk menunjukkan itikad baiknya.

Kasus ini bukan hanya masalah peternakan puyuh, melainkan cerminan dari lemahnya penegakan hukum dan pengawasan terhadap usaha yang berpotensi mencemari lingkungan. Warga mendesak dinas terkait untuk turun tangan dan menindak tegas pelanggaran ini. Jangan sampai kasus ini menjadi preseden buruk dan membiarkan pengusaha seenaknya mengabaikan kesejahteraan masyarakat demi keuntungan pribadi. Aroma busuk pengkhianatan di desa Bojanegara  kecamatan Padamara harus segera dibersihkan, bukan hanya bau kotoran puyuh, melainkan bau ketidakadilan dan arogansi yang telah mencemari lingkungan sosial.