Purworejo, Jawa Tengah — Di sebuah sudut tenang di Purworejo, di balik suara angin yang mengusap sawah dan langit yang tampak damai, seorang gadis kecil menyimpan luka yang tak terlihat. Bukan luka yang berdarah. Tapi luka yang merobek masa kecilnya hingga hancur berkeping.

Ia adalah SB — kini hanya dikenal lewat dua inisial dalam laporan resmi kepolisian. Seorang anak yang menjadi korban dugaan persetubuhan oleh sosok yang ironisnya, ia kenal begitu dekat.

Kisah kelam ini tak terjadi kemarin sore. Namun yang mengejutkan, nyaris tak ada media yang menuliskannya. Seolah jeritan SB terjebak di antara tumpukan berkas hukum yang dingin dan birokrasi yang tak lagi peduli.

Semua bermula pada Senin malam, 19 Mei 2025. Kakak korban, Ayub Lutfi Al Thoriq, menerima sebuah kiriman foto. Sebuah gambar yang menghancurkan seluruh dunia yang selama ini ia jaga. Dalam foto itu, SB terlihat dalam keadaan yang tak sepantasnya. Dunia Ayub runtuh seketika. Adik yang ia rawat dan sayangi, ternyata telah menjadi korban kekerasan seksual. Dan itu bukan baru terjadi.

Dengan suara lirih dan tubuh gemetar, SB mengaku: semua yang tergambar dalam foto itu benar. Ia menceritakan bahwa dirinya telah menjadi korban persetubuhan sejak Maret 2024 hingga April 2025. Bukan sekali. Tapi berkali-kali. Bahkan, ia menyebut telah menjalani hubungan seperti suami istri dengan pelaku — pria bernama ERP.

Ayub tidak tinggal diam. Ia memilih menghadapi pelaku secara langsung. Tapi yang ia dapatkan hanyalah penyangkalan… dan permintaan klise: “Jangan dibesar-besarkan.”

Namun Ayub tahu, ini bukan perkara yang bisa dikecilkan. Ini bukan aib keluarga. Ini kejahatan. Maka pada 18 Juni 2025, ia melaporkan peristiwa ini ke Polres Purworejo, dengan nomor laporan:
STTLP/22/VI/2025/SPKT/POLRES PURWOREJO/POLDA JATENG.

Sayangnya, laporan itu seperti berteriak di ruang kosong. Tak ada gaungnya. Tak ada sorotan. Tak ada empati dari publik yang seharusnya tahu.

Hingga pada 5 Agustus 2025, empat media lokal datang langsung ke Mapolres Purworejo. Mereka ingin memastikan bahwa kasus ini benar-benar ada, bahwa SB bukan sekadar nama yang tenggelam dalam arsip.

Hasil konfirmasi menyebutkan: Satreskrim membenarkan kasus tersebut masih dalam proses penanganan. Namun, untuk informasi lebih lanjut, wartawan diarahkan ke Kasat Reskrim yang saat itu sedang tidak berada di kantor.

Tim media juga mencoba menghubungi keluarga korban. Jawaban yang mereka terima sederhana, namun menyayat:
“Masih ditangani polisi. Kami hanya ingin keadilan.”

Kini, masyarakat akhirnya tahu. Bahwa ada seorang anak di Purworejo yang diam dalam luka. Ada seorang kakak yang berjuang sendirian demi adiknya. Dan ada sebuah sistem hukum yang sedang diuji nuraninya:
Apakah benar-benar berpihak pada korban? Atau akan membiarkan kasus ini lenyap bersama waktu?

SB bukan sekadar dua huruf dalam laporan polisi. Ia adalah wajah dari ribuan anak Indonesia yang butuh perlindungan nyata. Bukan hanya janji dari podium. Bukan sekadar kata “proses hukum berjalan”.

Dan di balik senyumnya yang hampa, SB masih berharap… bahwa suatu hari nanti, keadilan benar-benar datang, bukan hanya dijanjikan.